Pemasaran politik membantu dan mempermudah
masyarakat dalam hal menganalisis para kandidat untuk kemudian menentukan
pilihan. Dengan adanya persaingan di antara para calon gubernur dan wakil
gubernur, mereka berusaha untuk mempengaruhi opini publik. Kegiatan pemasaran
yang dilakukan oleh para calon ini membuat isi dari informasi yang disampaikan
kepada khalayak semakin besar. Komunikasi yang tercipta antara para kandidat
calon pun mempermudah masyarakat untuk menggali dan mendapatkan semua hal yang berkaitan
dengan latar belakang, program kerja, serta isu-isu terkini melalui pemasaran
politik. Dalam pembahasan ini saya akan menjadikan DKI Jakarta sebagai contoh, karena bisa dibilang, Jakarta adalah miniatur Indonesia. Pilkada DKI Jakarta 2017
menurut saya sudah sesuai dengan model marketing politik dari Kottler and
Kotler. Hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan model pemasaran tersebut
masyarakat dapat menganalisis bagaimana cara kerja pasangan calon, konsultan,
dan juga timses dalam usahanya menganalisis lingkungan sosial, membangun citra,
menarik simpati masyarakat, dan juga kesempatan memenangkan Pilgub DKI Jakarta
2017 secara terperinci.
Dalam kasus marketing politik pasangan Ahok-Djarot,
saya rasa aspek-aspek pemasaran politik dari Kottler and Kotler hampir semua tercukupi
dalam menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2017. Kecuali pada aspek internal and external assessment. Dengan
double minoritas yang dimiliki oleh
Ahok, seharusnya beliau mampu untuk lebih aware
dengan kalimat yang akan ia lontarkan, khususnya apabila kalimat tersebut
berkaitan dengan suatu agama. Dan satu kesalahan kecil tersebut terbukti mampu
berakibat fatal dengan kalahnya pasangan ini di putaran kedua Pilkada DKI
Jakarta 2017. Hal ini pun menjadi titik lemah pertahanan Ahok-Djarot. Kasus
penistaan agama yang menjerat Ahok dijadikan oleh kubu lawan sebagai “senjata”
untuk menggiring opini publik bahwa Ahok adalah seorang pejabat yang tidak
layak untuk menjabat karena telah menista agama Islam. Hal tersebut menjadi
gerbang bagi kubu lawan untuk melakukan propaganda anti Ahok melalui
dalil-dalil agama yang di sangkut pautkan, antara lain QS. Al-Maidah ayat 51.
Dalil ini diangkat untuk dijadikan dogma bahwa
dilarang untuk memilih pemimpin non muslim. Demo besar-besaran dan
berjilid-jilid pun digelar. Tujuannya tidak hanya untuk memasukkan Ahok ke
dalam bui, tetapi juga merupakan sebuah kampanye bahwa agama Islam melarang
umatnya memilih non muslim untuk menjadi pemimpin. Jadi saya rasa demo yang
berjilid-jilid tersebut bukan hanya sekedar ajang unjuk rasa, melainkan sudah
menjurus ke dalam black campaign.
Kartel adalah suatu kecenderungan perilaku elite
politik yang sedang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara
terselubung. Dalam upaya melanggengkan kekuasaan individu. Contoh kartel
politik dapat kita temui dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Dimana salah satu
calon gubernur yang pada saat itu mencalonkan dirinya sebagai orang nomor 1 di
DKI Jakarta merupakan anak dari salah seorang elite partai politik. Ia yang
sebelumnya memiliki pangkat jenderal, berhenti dari dunia militer dan terjun ke
dunia politik guna mensukseskan peta politik dari sang ayahanda. Trah Cikeas
yang ingin dipertahankan oleh sang ayah, membuat calon gubernur tersebut harus
merubah haluan karir secara drastis. Menang kalah sang putra dalam Pilgub DKI
Jakarta 2017 bukan lah hal yang penting bagi sang ayah. Karena hal tersebut
hanyalah langkah awal bagi sang anak untuk terjun ke dunia politik. Dan tujuan
utama sang ayah adalah menjadikan anaknya tersebut mampu menjadi ketua umum
dari Partai Biru.
Dengan beradanya kita di era globalisasi, maka kita
tidak boleh menutup mata bahwa dunia digital sangat berperan penting dalam
banyak aspek kehidupan masyarakat. Di Indonesia popularitas dunia digital mulai
mengalami pergerakan menuju tren online mobile.
Perkembangan media sosial di dunia maya pun akan semakin berkembang dan terus
tumbuh. Kemampuan dalam menguasai dan memanfaatkannya akan menjadi faktor
pendukung yang amat baik bagi para pelaku politik untuk proses komunikasi dan
kampanye politiknya. Dampak positif terbesar dalam menggunakan media sosial
sebagai alat kampanye ialah menciptakan komunikasi yang lancar antara para
calon dan pendukungnya. Selain itu media sosial juga mampu menjadi wadah untuk
menarik dukungan suara dari massa mengambang.
Berdasarkan
survey yang dilakukan Opera di sembilan kota besar yang melibatkan 1.000
responden menunjukkan bahwa sekitar 78% responden menuturkan kegiatan menunggu
terasa lebih baik jika mereka memiliki koneksi internet. Tak hanya itu, 66%
responden juga menyebutkan rela mengorbankan beberapa hal lain untuk mendapatkan
koneksi internet saat menunggu (www.indotelko.com).
Berdasarkan data tersebut tentunya dunia digital sangat harus dipertimbangkan
dalam marketing politik di Indonesia. Yang paling penting dalam melakukan
kampanye melalui media sosial ialah etika dalam proses komunikasi. Para pelaku
politik harus paham bahwa media sosial merupakan media untuk menyampaikan
gagasan, visi, misi, serta opini. Yang
tentunya harus disampaikan dengan santun, arif, serta bertanggungjawab guna
membangun kedewasaan dalam berpolitik di Indonesia.