Jumat, 15 Desember 2017

Refleksi Marketing Politik dalam Politik Lokal di Indonesia

Pemasaran politik membantu dan mempermudah masyarakat dalam hal menganalisis para kandidat untuk kemudian menentukan pilihan. Dengan adanya persaingan di antara para calon gubernur dan wakil gubernur, mereka berusaha untuk mempengaruhi opini publik. Kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh para calon ini membuat isi dari informasi yang disampaikan kepada khalayak semakin besar. Komunikasi yang tercipta antara para kandidat calon pun mempermudah masyarakat untuk menggali dan mendapatkan semua hal yang berkaitan dengan latar belakang, program kerja, serta isu-isu terkini melalui pemasaran politik. Dalam pembahasan ini saya akan menjadikan DKI Jakarta sebagai contoh, karena bisa dibilang, Jakarta adalah miniatur Indonesia. Pilkada DKI Jakarta 2017 menurut saya sudah sesuai dengan model marketing politik dari Kottler and Kotler. Hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan model pemasaran tersebut masyarakat dapat menganalisis bagaimana cara kerja pasangan calon, konsultan, dan juga timses dalam usahanya menganalisis lingkungan sosial, membangun citra, menarik simpati masyarakat, dan juga kesempatan memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017 secara terperinci.
Dalam kasus marketing politik pasangan Ahok-Djarot, saya rasa aspek-aspek pemasaran politik dari Kottler and Kotler hampir semua tercukupi dalam menghadapi Pilkada DKI Jakarta 2017. Kecuali pada aspek internal and external assessment. Dengan double minoritas yang dimiliki oleh Ahok, seharusnya beliau mampu untuk lebih aware dengan kalimat yang akan ia lontarkan, khususnya apabila kalimat tersebut berkaitan dengan suatu agama. Dan satu kesalahan kecil tersebut terbukti mampu berakibat fatal dengan kalahnya pasangan ini di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017. Hal ini pun menjadi titik lemah pertahanan Ahok-Djarot. Kasus penistaan agama yang menjerat Ahok dijadikan oleh kubu lawan sebagai “senjata” untuk menggiring opini publik bahwa Ahok adalah seorang pejabat yang tidak layak untuk menjabat karena telah menista agama Islam. Hal tersebut menjadi gerbang bagi kubu lawan untuk melakukan propaganda anti Ahok melalui dalil-dalil agama yang di sangkut pautkan, antara lain QS. Al-Maidah ayat 51.
Dalil ini diangkat untuk dijadikan dogma bahwa dilarang untuk memilih pemimpin non muslim. Demo besar-besaran dan berjilid-jilid pun digelar. Tujuannya tidak hanya untuk memasukkan Ahok ke dalam bui, tetapi juga merupakan sebuah kampanye bahwa agama Islam melarang umatnya memilih non muslim untuk menjadi pemimpin. Jadi saya rasa demo yang berjilid-jilid tersebut bukan hanya sekedar ajang unjuk rasa, melainkan sudah menjurus ke dalam black campaign.
Kartel adalah suatu kecenderungan perilaku elite politik yang sedang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara terselubung. Dalam upaya melanggengkan kekuasaan individu. Contoh kartel politik dapat kita temui dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Dimana salah satu calon gubernur yang pada saat itu mencalonkan dirinya sebagai orang nomor 1 di DKI Jakarta merupakan anak dari salah seorang elite partai politik. Ia yang sebelumnya memiliki pangkat jenderal, berhenti dari dunia militer dan terjun ke dunia politik guna mensukseskan peta politik dari sang ayahanda. Trah Cikeas yang ingin dipertahankan oleh sang ayah, membuat calon gubernur tersebut harus merubah haluan karir secara drastis. Menang kalah sang putra dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 bukan lah hal yang penting bagi sang ayah. Karena hal tersebut hanyalah langkah awal bagi sang anak untuk terjun ke dunia politik. Dan tujuan utama sang ayah adalah menjadikan anaknya tersebut mampu menjadi ketua umum dari Partai Biru. 
Dengan beradanya kita di era globalisasi, maka kita tidak boleh menutup mata bahwa dunia digital sangat berperan penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Di Indonesia popularitas dunia digital mulai mengalami pergerakan menuju tren online mobile. Perkembangan media sosial di dunia maya pun akan semakin berkembang dan terus tumbuh. Kemampuan dalam menguasai dan memanfaatkannya akan menjadi faktor pendukung yang amat baik bagi para pelaku politik untuk proses komunikasi dan kampanye politiknya. Dampak positif terbesar dalam menggunakan media sosial sebagai alat kampanye ialah menciptakan komunikasi yang lancar antara para calon dan pendukungnya. Selain itu media sosial juga mampu menjadi wadah untuk menarik dukungan suara dari massa mengambang.
            Berdasarkan survey yang dilakukan Opera di sembilan kota besar yang melibatkan 1.000 responden menunjukkan bahwa sekitar 78% responden menuturkan kegiatan menunggu terasa lebih baik jika mereka memiliki koneksi internet. Tak hanya itu, 66% responden juga menyebutkan rela mengorbankan beberapa hal lain untuk mendapatkan koneksi internet saat menunggu (www.indotelko.com). Berdasarkan data tersebut tentunya dunia digital sangat harus dipertimbangkan dalam marketing politik di Indonesia. Yang paling penting dalam melakukan kampanye melalui media sosial ialah etika dalam proses komunikasi. Para pelaku politik harus paham bahwa media sosial merupakan media untuk menyampaikan gagasan, visi, misi, serta  opini. Yang tentunya harus disampaikan dengan santun, arif, serta bertanggungjawab guna membangun kedewasaan dalam berpolitik di Indonesia.

Untuk Dimasku, Adik Laki-Lakiku

Hai, Adim... Sebelum lanjut membaca, tolong siapkan mental agar tidak merasa mual di tengah jalan ya. Kita memang tidak memiliki hubung...